Kedaulatan Pangan Untuk Mewujudkan Swasembada Pangan

JAKARTA. Kedaulatan pangan adalah kunci utama untuk mencapai swasembada pangan. Hal ini dipaparkan oleh Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh LEMHANNAS (Lembaga Ketahanan Nasional) yang bertemakan “Aktualisasi Swasembada Pangan, Menuju Indonesia sebagai Pemasok Pangan Tropis Tahun 2025 dalam Rangka Kemandirian Bangsa” di Jakarta, pagi tadi (17/09).

Henry memaparkan konsep kedaulatan pangan menuntut adanya pembaruan agraria sebagai langkah progresif untuk menciptakan keadilan agraria sebagai yang diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 33 dan UUPA 1960 – serta PPAN yang juga bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan dengan mendistribusikan tanah kepada petani kecil dan rakyat tidak bertanah.

“Kedaulatan pangan dijalankan melalui pertanian agroekologis yang menghilangkan ketergantungan terhadap perusahaan atau siapa pun yang menyediakan input-input produksi, oleh karena kesemuanya sudah disediakan oleh lahan pertanian. Kedaulatan pangan juga menuntut sistem pangan yang mampu memperpendek rantai pasokan sehingga kaum tani diharapkan mampu mendapatkan insentif,” paparnya.
Mengenai konsep kedaulatan pangan untuk mewujudkan swasembada pangan dalam rangka kemandirian bangsa, Henry menjelaskan dibutuhkan perencanaan pembangunan sampai tahun 2025 melalui penyusunan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjamin program pembangunan tidak keluar dari jalur dan prinsip pembangunan dan lebih dari itu agar program pembangunan tidak dilakukan karena kepentingan sesaat.
Perencanaan tersebut sendiri mencakup perencanaan tersebut mencakup rencana distribusi lahan dan pengalokasian lahan untuk pertanian pangan agroekologi sesuai dengan UUPA no.1960; penyiapan keluarga petani yang akan menerima lahan distribusi , berikut dengan rencana pendidikan petani, kelembagaan ekonomi dan penyiapan infrastruktur; perencanaan Lahan produksi pertanian agro ekologis yang memproyeksi kebutuhan keluarga petani, masyarakat desa, hingga sampai kebutuhan nasional; hingga perencanaan sistem distribusi yang menjamin seluruh rakyat mampu mengakses pangan yang diproduksi.
“Negara kita ini tidak lagi memiliki GBHN sehingga tidak jelas arah pembangunannya. Ganti presiden ganti kebijakan. Seharusnya ada GBHN yang mengarahkan pembangunan pertanian kita selama beberapa puluh tahun ke depan yang mengutamakan kepentingan rakyat (baca: petani), bukan kepentingan perusahaan-perusahaan pangan transnasional,” ungkap Henry yang juga Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional).

Mengenai rencana Indonesia yang ingin menjadi pengekspor bahan pangan, Henry menyatakan dirinya kurang setuju.

“Dengan mengekspor pangan ke negara lain, berarti kita akan merusak kedaulatan pangan bangsa lain, dan ini adalah bentuk penjajahan. Saya lebih setuju dengan memberikan solidaritas pasokan pangan bagi negara lain yang mengalami krisis pangan akibat bencana alam dan lainnya,” tambahnya.

Sementara itu menurut pengamat pertanian Bustanul Arifin, untuk mewujudkan swasembada pangan semakin sulit karena ancaman kekeringan dan perubahan iklim makin nyata sulit. Dia menjelaskan, pertanian dapat menjadi masa depan ekonomi Indonesia, jika penyediaan lahan dan peningkatan skala ekonomi usaha tani dilakukan konsisten, pembaruan agraria dijalankan dengan menjunjung tinggi keadilan dan kemandirian.

“Untuk memenuhi kebutuhan domestik dan memasok pangan global, manajemen usaha tani wajib diperbaiki, produktivitas wajib ditingkatkan dan inovasi kelembagaan dilaksanakan dengan memanfaatkan kearifan lokal,” ungkapnya.

ARTIKEL TERKAIT
Hari Pangan Sedunia 2014: Menempatkan Kembali Pertanian Keluarga Sebagai Kekuatan Utama dalam Penegakan Kedaulatan Pangan Hari Pangan Sedunia 2014: Menempatkan Kembali Pertanian Kelu...
Kemah Pemuda Tani SPI: Saatnya Kaum Muda Tani Merubah Masa D...
Sarwadi: “Petani itu harus menguasai tanah, baru mereka bi...
Pembangunan Infrastruktur Berbuntut Konflik agraria: SPI Ken...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU