Tinjauan Gerakan Rakyat terhadap Rencana Kerja Bali

Laporan ke-4 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) beberapa bulan lalu memaparkan bahaya naiknya suhu permukaan bumi lima tahun mendatang. Diiringi dampak lanjutan berupa kegagalan panen, kelangkaan air, tenggelamnya daerah pesisir, lenyapnya spesies, banjir, dan kekeringan. Dalam beberapa dekade terakhir begitu banyak bencana alam yang melanda Indonesia dan dunia. Banjir, kekeringan dan topan badai silih berganti menimpa manusia dan alam ini.

Fenomena inilah kemudian disebutkan sebagai pemanasan global (global warming)—atau dalam beberapa pernyataan disebut juga sebagai perubahan iklim (climate change). Belum satu bulan berselang dari berakhirnya Konferensi Perubahan Iklim PBB di Bali pada awal Desember lalu, Indonesia sudah merasakan efek langsung dari pemanasan global tersebut akibat banyaknya bencana alam terkait iklim yang melanda hampir seluruh pelosok negeri ini.

Hujan berkepanjangan dan iklim yang tak menentu sebulan terakhir menyebabkan banjir, tanah longsor dan gelombang pasang yang telah menghancurkan ratusan rumah, merenggut puluhan korban jiwa dan menenggelamkan sekitar 70 ribu hektar lahan pertanian. Dari jumlah lahan pertanian yang terendam banjir tersebut sebesar 56.034 hektar diantaranya merupakan lahan persawahan padi yang berakibat terancamnya persediaan pangan pokok nasional.

Lebih dari 10.000 pakar dan pemimpin negara menghadiri Konferensi Perubahan Iklim selama dua minggu untuk mencari jalan keluar dari bencana ini, yang kini sedang melanda hampir seluruh penjuru dunia. Hal ini didorong oleh berkembangnya suatu kesadaran bahwa dampak sosial, ekonomi dan budaya dari pemanasan global tidak dapat dipandang ringan.

Pemanasan global sama seperti masalah lingkungan lain merupakan masalah ekonomi dan politik. Dalam konferensi ini terlihat jelas betapa berbagai kekuatan ekonomi dan politik saling bertarung mempertahankan kepentingan masing-masing sambil berusaha mencari jalan keluar dari pemanasan global yang efeknya sudah semakin dirasakan. Sehingga pada akhirnya sidang panjang selama dua minggu itu tidak menghasilkan strategi dan resolusi tegas dan berguna yang dibutuhkan mengatasi pemanasan global dalam waktu dekat. Hasil akhir yang disebut sebagai Bali Action Plan tersebut antara lain sebagai berikut:

a.Memperkuat program strategis untuk pengembangan serta transfer tekhnologi yang ramah lingkungan, serta rendah emisi karbon yang dikelola melalui dana dari Global Environmental Facility (GEF) milik Bank Dunia.
b.Memperkuat langkah-langkah adaptasi terhadap pemanasan global melalui penetapan dana adaptasi bagi negara dan kelompok yang rentan terhadap dampak pemanasan global, yang juga dikelola melalui GEF.
c.Memperkuat langkah mitigasi dampak perubahan iklim melalui pengurangan dan pembatasan emisi gas rumah kaca bagi negara-negara maju dan pelaksanaan program pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan di negara-negara berkembang (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries-REDD).

Bahwa pemanasan global bukan merupakan sebab dari berbagai bencana yang ada namun merupakan akibat dari kesalahan model ekonomi global yang berkarakter neoliberal-kapitalistik nampaknya tidak disadari- atau sengaja dilupakan- oleh pihak-pihak yang bertemu dalam Konferensi ini. Bali Action Plan dipandang oleh gerakan rakyat Indonesia yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lawan Neo-kolonialisme dan Imperialisme (GERAK LAWAN) tidak akan dapat mengatasi permasalahan ini dan membantu kelompok-kelompok yang paling rentan terhadap efek pemanasan global seperti petani, nelayan, miskin kota, dan kaum buruh.

Hasil akhir dari konferensi ini menunjukkan dominasi negara-negara maju yang tidak memiliki niatan sama sekali untuk mengubah model produksi, distribusi dan konsumsi mereka yang telah terbukti menghancurkan kehidupan di bumi ini. Demi melayani kepentingan negara-negara maju-Amerika Serikat, Jepang dan Kanada- yang sejak awal konferensi menolak adanya pengurangan emisi karbon secara spesifik karena hal tersebut akan sangat mempengaruhi perekonomian mereka- negara-negara miskin dan berkembang lah yang akhirnya dituntut bertindak sebagai penyelamat bumi dengan menyediakan kawasan-kawasan penyerap karbon (Carbon Sink). Padahal nyata-nyata penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar yang menjadi penyebab pemanasan global ini adalah negara-negara maju. Dimana dalam kurun waktu tiga dekade terakhir menurut laporan IPCC telah terjadi peningkatan emisi karbon tahunan hingga 80 persen.

Praktek ekonomi neo liberal-kapitalistik terus dipertahankan, bahkan hingga kini ketika bumi sudah hampir kehabisan daya tahannya akibat eksploitasi berlebihan yang terus dilakukan demi keuntungan sebesar-besarnya bagi segelintir orang. Harapan tercapainya suatu keputusan yang tegas dari Konferensi Bali ternyata hanya tinggal harapan. Oleh karena itu dipandang perlu dan mendesak bagi gerakan rakyat secara global khususnya di negara miskin dan berkembang yang selama ini menjadi korban untuk terus mendorong langkah alternatif pembangunan yang adil dan berkelanjutan secara sosial dan ekologis. Melaksanakan reforma agraria sebagai langkah strategis mengurangi meluasnya dampak pemanasan global, menghentikan praktek lembaga keuangan internasional yang melanggengkan praktek neo-kolonialisme, mengklaim utang ekologis kepada negara-negara industrialis lewat penghapusan utang, menjalankan kebijakan ekonomi nasional secara mandiri, melakukan penghematan energi dan tidak berperilaku boros dalam kehidupan sehari-hari.

ARTIKEL TERKAIT
Henry Saragih Ingin Amandemen Undang-Undangnya, Petani Korea Undang SPI
Gerakan rakyat harus bersatu melawan FTA
Deklarasi SPI Blitar: Organisasi Tani Akan Bawa Kemenangan A...
Dasa Sila Bandung Masih Relevan
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU