Pertanian Indonesia Terancam ACFTA: Hancur Diterpa Impor, Buntung karena Ekspor

Perjanjian Perdagangan Bebas Asean-China (ACFTA) telah diberlakukan secara penuh per 1 Januari 2010, setelah sejak 2002 perjanjian ini ditanda tangani dan diberlakukan bertahap. Lebih dari 6600 komoditi dari China akan masuk ke Indonesia tanpa dikenai tarif masuk sama sekali (0 persen). Keikut sertaan Indonesia dalam ACFTA kembali menunjukkan betapa pemerintah Indonesia telah salah langkah dalam strategi pembangunan ekonomi nasional saat ini.

Saat ini saja telah terjadi ketidak seimbangan neraca ekspor impor Indonesia dengan Cina. Dalam tiga tahun terakhir, perbandingan neraca ekspor dan impor nonmigas antara Indonesia dan Cina selalu menunjukkan angka defisit. Data Bank Indonesia (Mei 2009) menyebutkan bahwa pada tahun 2006 kita mengalami defisit sebesar 0,993 milyar dolar AS. Pada tahun 2007 jumlahnya naik mencapai 2,708 milyar dolar AS bahkan pada tahun 2008 angkanya meningkat tajam mencapai 7,898 milyar dolar AS. Selama tahun 2009 Cina menjadi negara pemasok barang impor nonmigas terbesar dengan nilai US$12,01 miliar (BPS, 2010)

Bagaimana dengan sektor pertanian yang merupakan salah satu sektor paling rentan dalam perdagangan bebas? Pemerintah Indonesia lewat pernyataan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi menyatakan bahwa produk perkebunan Indonesia dengan China  mengalami kenaikan yaitu dari US$ 800 juta hingga US$ 2,3 miliar. Namun untuk sektor holtikultura termasuk produk-produk buah-buahan, penetrasi pasar produk China jauh lebih tinggi dari Indonesia. Artinya Indonesia lebih banyak mengimpor buah-buahan dari China dari pada mengekspornya. Rendahnya harga produk dari China telah menghantam petani hortikultura dalam negeri. Salah satu yang terkena imbas paling besar ialah petani bawang putih. Situasi ini jelas memperlihatkan bahwa ACFTA hanya menguntungkan perkebunan-perkebunan besar dan menghancurkan nasib para petani kecil.

Tragedi yang dialami petani bawang putih ini terjadi sejak tahun 2005, ketika ACFTA pada saat itu telah menghapuskan tarif impor bawang putih dari Cina, setelah sebelumnya pada tahun 1996 tarif impor bawang putih diturunkan menjadi 5 persen. Impor bawang putih ini pun dapat dilakukan secara bebas oleh para importir tanpa menggunakan acuan standar mutu, akibatnya pasar bawang putih domestik dibanjiri produk Cina. Kebijakan penurunan tarif impor, menyebabkan harganya jauh lebih murah dibanding bawang putih lokal, akibatnya gairah petani untuk menanam bawang putih semakin menurun karena tidak menguntungkan dan banyak petani dan pengusaha yang terpaksa gulung tikar.

Tabel Perbandingan Volume dan Nilai Ekspor Impor Bawang Putih

2004 2005 2006
Vol (ton) Nilai (USD) Vol (ton) Nilai (USD) Vol (ton) Nilai (USD)
Ekspor 39,3 43.166 18,1 7.308 20,4 12.090
Impor 244.446,1 53.474.300 283.403,3 66.700.100 295.057,1 103.066.900
Neraca – 244.406,8 – 53.431.134 – 283.385,2 – 66.692.792 – 295.036,7 – 103.054.810

Sumber: Dirjen Hortikultura

Di samping bawang putih barang-barang impor dari Cina terbesar yang masuk ke Indonesia adalah adalah buah-buahan, dengan nilai impor Januari-september 2006 mencapai US$ 134,6 juta atau meningkat US$ 73,8 juta dibanding periode sama tahun sebelumnya.

Pemerintah menyatakan hal ini diimbangi dengan sektor perkebunan dimana terjadi peningkatan trade balance Indonesia dengan China dari US$ 800 juta hingga US$ 2,3 miliar. Namur berkaca pada komoditi kelapa sawit dan Crude Palm Oil (CPO), ketergantungan pada pasar dan harga internasional untuk ekspor menyebabkan banyak kerugian pada petani sawit dan produsen CPO. Pada saat harga jatuh dimana petani serta produsen tidak memiliki kontrol sama sekali untuk itu, kita harus rela merugi. Lebih buruknya lagi, kita terus didorong sebagai eksportir bahan mentah, sehingga industri hulu-hilir kita terbengkalai, tidak terbangun dan terintegrasi. Hal ini tentunya mengingatkan kita dengan apa yang terjadi pada era kolonial, ketika Indonesia hanya menjadi daerah pengerukan bahan mentah kondisi yang terus dibiarkan hingga hari ini.

Jika beberapa produk non-migas seperti minyak sawit, karet, pulp and paper, dan kelapa (kopra) didorong sebagai produk unggulan, logika orientasi ekspor akan menggenjot produksi. Terkait ini, akan banyak ekspansi usaha perkebunan—yang konsekuensi sosial-ekonomi dan lingkungannya masih menyimpan banyak masalah. Deforestasi atas nama perkebunan, serta penggusuran masyarakat adat dan petani kecil adalah masalah umum yang terus terjadi untuk mendorong ekspansi komoditas ekspor. Usaha perkebunan juga kurang bermanfaat untuk pemberdayaan ekonomi rakyat, karena rakyat di pedesaan tidak memiliki sendiri perkebunannya atau hanya menjadi buruh perkebunan atau bahkan dalam banyak kasus harus tergusur dari tanahnya.

Sebaiknya pemerintah benar-benar mengevaluasi proses ACFTA ini, menimbang bola salju resistensi terhadapnya sudah bergulir. Dalam sektor pertanian, terlalu banyak kerugian yang ditimbulkan, sehingga opsi renegosiasi bukanlah pilihan. Untuk memajukan pertanian Indonesia, selain dibutuhkan cetak biru pertanian dari hulu hingga hilir, insentif untuk petani pun mutlak dibutuhkan. Terkait dengan perdagangan bebas, melindungi petani dan rakyat Indonesia—serta menggairahkan pasar dan harga domestik sudah lama diusulkan namun miskin implementasi.

Narasumber:
Henry Saragih (Ketua Umum SPI) 0811655668
=====
SERIKAT PETANI INDONESIA (SPI)
Jl. Mampang Prapatan XIV No.5, Jakarta Selasa 12790
Telp. +62 21 7991890  Fax. +62 21 7993426
www.spi.or.id

ARTIKEL TERKAIT
SPI Usulkan Program-Program Kedaulatan Pangan bagi Jokowi-JK
Ironi “Madep Mantep Pangane Dewe” di Kulon Progo Ironi "Madep Mantep Pangane Dewe" di Kulon Progo
Setahun Erupsi Sinabung, Nasib Petani (Pengungsi) Masih Tak ...
Keluarga besar SPI berduka cita atas meninggalnya Wiwik M. K...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU